Minggu, 15 Juni 2008

bErgerAK dAn b3Rsat03

ketika kita bicara tentang pergerakan MUHAMMADIYAH...ketika kita mambahas tentang kancah mahasiswa di dunia campus...ketika itu kita kan sadar bahwa ada satu pergerakan dalam dunia universitas yang tidak sembarang pergerakan..INTELEKTUALITAS, RELIGIUSITAS, HUMANITAS...ya...itu motto yang ada dalam pergerakan itu....berkaderkan kader-kader progresif, memiliki loyalitas tinggi dan dalam kebersamaan mencoba dan berusaha menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, mencoba dan berusa menuju pembaruan, perubahan dan kebebasan, mencoba dan berusaha terus berkarya dalam kehidupan...bersama dalam kebersamaan didalam ikatan menuju IMM berdjaya..............

4 komentar:

aufklarung mengatakan...

ayo kawan berjuang menegakkan panji muhammadiyah di kampus kita.

aufklarung mengatakan...

ayo kawan berjuang, berjuang menegakkan panji muhammadiyah dikampus kita ini.
ayo kawan jangan lupa pergerakan kita: IMM BERJAYA.
jangan sampai putus semangat dalam memperjuangkan organisasi tercinta kita ini.
SEMANGAT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

aufklarung mengatakan...

PERAN IBU DALAM MENGATASI KRISIS BANGSA*
Wednesday, 19 April 2006

oleh Marwani*
Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta bertempat di Dalem Joyodipuran yang kini di kenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), kongres berikutnya delapan tahun kemudian yakni pada tahun 1935 diselenggarakan Kongres Perempuan II di Semarang.

Dalam kongres ini dilontarkan gagasan bahwa Kongres Perempuan I dinyatakan sebagai HARI IBU dan di kota Bandung tahun 1938 dilaksanakan Kongres Perempuan III, dalam kongres inilah ditetapkannya bahwa tanggal 22 Desember sebagai HARI IBU. Mengingat pentingnya arti peristiwa Hari Ibu, maka ditetapkanlah sebagai Hari Nasional (yang tidak Libur), dan dengan Keputusan Presiden RI. No. 316 tertanggal 16 Desember 1950. Karena Hari Ibu merupakan tonggak sejarah kebangkitan kaum wanita(ibu), dipakai sebagai hari untuk merenung kembali akan peran wanita sebagi istri, sebagai orang tua (ibu) dan sebagai anggota masyarakat (publik figur).

Peran Domestik

a. Ibu Sebagai Istri

Seorang ibu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu keluarga, berstatus
sebagai seorang pendamping dari suaminya. Sehingga mempunyai peran yang sangat urgen
dalam kehidupan keluarga, namun terkadang atau bahkan sering terjadi kekerasan
terhadapnya. Fakta memperlihatkan bahwa banyak ibu diperlakukan sebagai pelengkap
penderita, di mana ia diperlakukan dan diposisikan pada second class dan bahkan
dibiarkan tak berarti apa-apa di saat tertentu.

Hal tersebut menjadi penyebab utama perempuan selalu berada pada posisi yang lemah
karena tidak dipandang sebagai mitra kerja oleh laki-laki. Apakah itu dalam
lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat. Keretakan suatu
keluarga banyak disebabkan oleh hilangnya sifat saling menghargai antara keduanya
(suami - istri). Harmonisasi keluarga hilang yang pada akhirnya akan terjadi
keretakan keluarga atau sampai pada perceraian. Secara psikilogi akan berdampak pada
kinerja laki-laki (suami) di lingkungan kerjanya begitu pula di lingkungan
masyarakat akan mendapat cemohan.

Oleh karena itu potensi yang dimiliki masing-masing, tidak mampu menjadi sebuah
kekuatan yang pada dasarnya bisa mengatasi krisis bangsa yang dimulai dari unit
keluarga. Sadar atau tidak sadar, kesuksesan unit keluarga sangat signifikan untuk
mengatasi krisis bangsa. Dampak langsung yang bisa kita lihat, perempuan dan
laki-laki (istri-suami) dapat bekerja dengan tenang, nyaman dan damai di tempat
kerja masing-masing karena saling ada kepercayaan/menjaga kepercayaan di antara
keduanya. Titik kerawanan keluarga ada pada, jika seorang ibu memiliki peran di luar
rumah, apakah itu karyawan atau atasan di kantor atau menjadi perempuan pengusaha
(business woman),

pada kondisi ini akan timbul saling curiga yang ujung-ujungnya akan melemahkan
semangat kerja di kantor dan tanggung jawab keluarga otomatis akan melemah pula,
yang terjadi broken home. Anak-anak tidak diperhatikan lagi dan akan melakukan apa
saja yang mereka kehendaki tanpa kontrol dari kedua orang tua.

Budaya patriarki tidak menciptakan demokratisasi keluarga, ada pihak yang sangat
dominan melakukan penekanan terhadap pihak yang lain sehingga persoalan-persoalan
yang muncul tidak terselesaikan secara demokratis. Tidak ada transparansi keluarga
yang pada dasarnya hal tersebut tidak boleh muncul dalam satu keluarga. Malah tidak
jarang ada keluarga saling menceritakan aib keluarga bukan pada tempatnya. Artinya
bukan pada lembaga pembelaan (advokasi), atau konsultan (consultant) keluarga yang
konsen pada penyelesain masalah keluarga. Jadi bukannya menyelesaikan tetapi semakin
memperuncing masalah, "kerukunan dan kedamaian keluarga" semakin jauh atau tidak
tercapai lagi.

b. Ibu Sebagai Orang Tua

Peran Ibu terhadap anak-anaknya di rumah sebagai pendidik dan pengayom pertama
sebelum masuk pendidikan formal, yang sangat berarti dalam perkembangan dan
pertumbuhan segala potensi anak. Seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan awal
(basic education) yang benar yaitu pendidikan akhlak (moral education) dan
pendidikan pengembangan potensi pikir dan kreativitas sejak dalam lingkungan
keluarganya, maka anak tersebut akan cepat menyesuaikan kondisi diluar lingkungan
keluarganya dan mampu melakukan penajaman dan pencerahan pemikiran secara cepat.
Terlebih seorang anak yang dibekali pendidikan akhlak sejak kecil oleh orang tuanya
terutama ibu yang banyak waktu bersamanya, anak tersebut tidak cepat terpengaruh dan
terjerumus dalam pergaulan bebas yang kontroversial dengan ajaran Islam.

Anak akan selalu teringat dengan pesan-pesan moral yang baik sepanjang hidupnya.
Dekadensi moral yang dialami oleh seorang anak karena krisis moral, tidak mampu
melakukam penyaringan budaya asing. Banyak anak yang kita temukan secara materi
tercukupi tetapi gersang dengan kasih sayang dan pendidikan moral. Sehingga batin
mereka kosong, dengan mudahnya akan terisi dengann ajakan pergaulan bebas, pecandu
narkotika dan putus sekolah karena tak ada lagi gairah belajar.

Seorang anak akan bergerak sesuai dengan zamannya sehingga pendidikan akhlakul
karimah sangat signifikan sebagai bekal melawan pengaruh negatif dari barat.
Optimalisasi fungsi control orang tua juga sangat diharapkan sampai anak-anak mampu
mambawa dirinya dan tidak larut dalam kondisi secanggih apapun.

Dengan demikian seorang ibu wajib memiliki kecukupan ilmu pengetahuan untuk dapat
mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan serta suri tauladan yang baik di
hadapan anak-anaknya. Perilaku dan kebijakan seorang ibu sangat tergantung pada
tingkat pendidikan dan pengalamannya. Zaman dengan secepat mungkin dapat berubah
sehingga menuntut seorang ibu yang tanggap dan cerdas dalam menuntun anak-anaknya,
sehingga krisis moralitas bangsa dapat teratasi. Para remaja tidak lagi terjerumus
dalam kehidupan yang glamor, tetapi mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang
cerdas dan kreatif serta taat dan patuh terhadap Sang Pencipta (Allah Swt).


Peran publik
Ibu sebagai publik figur

Kita tidak bisa menghindar dari yang namanya masyarakat, seorang ibu merupakan
bagian integral dari masyarakat (society), sangat penting baginya melakukan adaptasi
terhadap keragaman kultur, etnis dan agama. Apapun alasannya, menjadi keharusan
untuk dapat hidup rukun dan damai dalam sebuah masyarakat yang heterogen. Dalam
menghadapai tantangan zaman yang sangat kompetitif diharapkan para ibu mampu bersatu
menjalin tali persaudaraan yang kokoh agar tidak menjadi objek pembangunan yang
sangat merugikan dirinya, menjadi pelengkap penderita pembangunan. Untuk menciptakan
rana kehidupan yang kondusif, para ibu harus memiliki jiwa kepemimpinan dan ilmu
pengetahuan (leadership and knowledge) yang mapan dan keteladanan yang patut
diikuti.

Jiwa kepemimpinan (leadership) minimal untuk dirinya dan keluarganya sebagai unit
terkecil dari lingkungan masyarakat. Begitu juga keteladanan minimal untuk
anak-anaknya. Dan yang sangat kita harapkan ibu yang punya kapasitas dan
kredibilitas yang diakui untuk tampil di masyarakat baik itu dilingkungan kerjanya
maupun di lingkungan tempat tinggalnya atau menjadi tokoh masyarakat. Banyak deretan
nama tokoh atau pahlawan wanita Indonesia, pejuang abad ke-19 antara lain: M
Christina Tiahahu, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkoyo Rasuna Said, R. A.
Kartini, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, Nyai Ahmad Dahlan dll. Menjadi tanda tanya besar
untuk era sekarang, maukah kaum ibu saat ini menyamai dan mewarisi semangat
perjuangan beliau? Andaikan Ibu R.A. Kartini melihat kaum ibu saat ini maka beliau
menangis atas kegagalan cita-cita mulia beliau, "kebebasan (emansipasi) perempuan
malah di salah artikan". Banyak kaum perempuan telah mengecap pendidikan sihingga
mampu menjadi publik figur di luar rumahnya, apakah itu ditempat kerja atau
masyarakat tetapi ada yang terlupakan yaitu anak-anak mereka sebagai regenerasi,
tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan akhlakul karimah yang cukup, akhirnya
anak tumbuh menjadi anak yang gersang batinnya, terjauh dari nilai-nilai agama.
Kemudian ada perempuan yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah sehingga mampu
melakukan kreativitas seni, namun dengan mudahnya diajak mengikuti budaya yang
bertentangan dengan nilai budaya ketimuran dan terlebih lagi norma-norma agama yang
dianutnya yaitu Islam.

Pornograpi dan pornoaksi masih kita lihat di media, korbannya adalah para perempuan
yaitu anak dari seorang ibu, lalu pergaulan bebas anak-anak remaja/usia sekolah dan
bahkan sampai anak-anak putus sekolah juga banyak (akibat dari didikan yang salah),
kita dapat lihat di pinggir-pinggir jalan menjadi pengamen. Apakah makna cita-cita
ibu R.A. Kartini tidak tersampaikan di telingah para ibu sampai hari ini. Sungguh
sangat-sangat "menyedihkan dan memilukan hati", sebenarnya lewat siapakah makna
cita-cita ibu yang tercinta R.A. Kartini agar sampai di telingah kaum ibu, apakah
lewat keluarga di rumah? Atau lewat bangku sekolah? Atau pemukah agama? atau
Pemerintah? Atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)?

Menurut hemat penulis, semua itu punya kewajiban menyampaikannya, karena betapa suci
makna kebebasan perempuan memperoleh pendidikan di bangku sekolah, "tiada lain untuk
memperbaiki citra diri, keluarga, masyarakat dan bangsa". Indahnya harapan Ibu
R.A.Kartini, "Kebebasan mendapat pendidikan", akan tetapi sangat disayangkan nilai
masyarakat terdidik ( educated society value) tidak menyeluruh di seantero Indonesia
dari Sabang sampai Papua.


Penutup
Kebangkitan perempuan adalah harapan kebangkitan bangsa, yang sangat ditentukan oleh
kesadaran para ibu terhadap perannya. Tanggung jawab seorang ibu hendaknya menjadi
motivasi untuk "mengatasi krisis bangsa". Dan tidak terkecuali kesuksesan ibu
(perempuan) sangat ditentukan oleh peran seorang suami (laki-laki) yang menjadi
mitra kerja yang solid dan sepadan dalam melangkah untuk mencapai tujuan keluarga.

Krisis bangsa akan teratasi dengan suksesnya pembinaan keluarga sebagai miniatur
kehidupan bangsa (lingkungan kehidupan yang terkecil dari bangsa). Gagasan ini
mudah-mudahan menjadi referensi untuk menciptakan keluarga yang damai dan sejahtera
dalam mengatasi krisis bangsa.

Alfarokh mengatakan...

sudahkan mantap untuk bergerak menuju perubahan? kemampuan teori dan mengaplikasikannya, ketabahan, dalam menyiapkan SDM2 para pejuangnya?